Seharusnya Belajar Dari Amerika Latin Bukan Dari Film Hollywood.

Perlawanan kaum muda di Asia, mulai dari Thailand, Myanmar sampai Hongkong mengunakan simbol-simbol perlawanan film yg tentu saja fiktif. Pengunaan simbol perlawanan yang diambil dari film Hollywood bukan hanya dari film Hunger Games, sebelumnya topeng Guy Fawkes dalam film "V For Vendetta dipakai kaum muda Eropa dalam aksi-aksi perlawanannya.

Pengambilan simbol perlawanan dari film ini bisa diartikan dalam 2 hal; pertama, hegemoni film Hollywood begitu efektif tertanam dalam budaya kolektif masyarakat global dan menyusun konfigurasi ikatan rasa yg seolah-olah sama dialami seluruh penduduk bumi, berkat ikatan internet dan tentunya pasar bebas (yang telah membawa bisnis film Hollywood melintasi batas negara tanpa hambatan)

Kedua, mengunakan simbol film membuktikan tak ada gerakan perlawanan yg cukup mengakar yang tumbuh sehingga mencaplok begitu saja apa yang dikonsumsi tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata dalam gerakan itu sendiri. Artinya, institusi-institusi politik selama ini menganggap masyarakat hanya objek yang dibutuhkan saat pemilu saja lewat instrumen-instrumen media kampanye berupa iklan maupun panggung-panggung kampanye sesuai jadwal 5 tahunan. Kondisi berjarak antara institusi politik yg kerap diwakilkan oleh partai politik dengan rakyat, serta sistem kepemiluan yang lebih memberikan "kesempatan" bagi yang kaya (pembiayaan kampanye yg mahal) inilah kemudian melahirkan elit politik dengan dukungan lemah ditingkatan massa rakyat. 

Aung San Suu Kyi merupakan simbol lama yang sebelumnya lahir dari situasi represif dimana semuanya terbatas, termasuk akses media, sehingga memerlukan cara-cara revolusioner dalam membangun infrastruktur perlawanannya. Semenjak ikut pemilu, cara-cara lama tersebut mulai ditinggalkan dan mengadopsi kepentingan Pemilu liberal. Ini terlihat dari gagapnya partai dalam merespon kudeta militer.

Kembali ke soal pengunaan simbol perlawanan dari film, dalam kasus Myanmar, Aung San Suu Kyi bukanlah faktor utama yang mendorong kaum muda Myanmar melakukan perlawanan. Munculnya simbol baru membuktikan keterputusan antara elit partai (dan mungkin program beserta tujuan partai) dengan massa rakyat. Mungkin juga, rakyat memiliki harapan atau imajinya soal negara lebih dari apa yang diusung oleh partai pemenang pemilu yang dibatalkan oleh pihak militer. Ini bukan berarti militer menjawab persoalan tersebut (berbeda dengan cara Soeharto yg seolah-olah menjadi jawaban persoalan Indonesia di tahun 1965).

Bagi saya, pengalaman Myanmar maupun perlawanan kaum muda di Thailand dan Hongkong sedang mencari bentuk maupun jatidirinya menjawab persoalan saat ini yg serba saling terkait tali-temali secara global. Institusi politik lama atau cara-cara lama sudah dianggap lapuk dan perlu alternatif baru dalam pencapaian menjawab persoalan yg serba menglobal sekalipun terjadi di wilayah terpencil dibumi ini. Film Hollywood memberikan imajinasi tersendiri diluar fakta nyata lingkungan persoalan. 

Pencangkokan imajinasi film yang sepenuhnya fiktif dan terputusnya sarana-sarana politik progresif terhadap perkembangan dinamika sejarah yang diwakili sebelumnya oleh partai-partai revolusioner, menjadikan gerakan perlawanan rakyat cendrung tanpa dialektika keperubahan yang benar-benar mendasar, suatu yang kebetulan terjadi pada episode sejarah manusia. Tentu ini berbeda dengan kontinuitas perjuangan rakyat Amerika Latin yg diwakili oleh gerakan-gerakan akar rumput, yang sejarahnya tidak kalah pilunya dalam menghadapi kediktatoran militer hasil perang dingin yg didukung oleh Amerika Serikat dan blok baratnya.

Oleh : Frans Ekadharma Kurniawan
Mantan aktivis KOMRAD 98
Mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulawesi Utara

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prabowo dan Masalah Perburuhan

Belajar lah dari Dinasti KIM

Akar Rasisme AS: Wawancara dengan Noam Chomsky