Bagaimana Fasisme di Indonesia?

Pada mulanya pendudukan jepang, 1942, disambut hangat oleh politisi Indonesia pada waktu itu, termasuk Soekarno. Kampanye militer Jepang melawan wilayah pendudukan Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia waktu itu) dengan slogan "persaudaraan asia timur raya" dianggap sebagai "pembebas" dari pendudukan Belanda terhadap Indonesia. Saking semangatnya Soekarno ikut berkampanye pengerahan Romusha untuk membantu Jepang berperang di front timur Asia.

Selain mobilisasi Romusha, Jepang juga membangun kekuatan militer dengan menambah milisi dari daerah pendudukannya, yaitu PETA. Seperti diketahui, kehadiran Jepang membuat perjuangan Indonesia terpecah jadi 2 kelompok; dalam buku sejarah dikenal dengan gerakan koperatif dan non koperatif. Gerakan koperatif dianggap terilusi dengan kehdiran militer Jepang yg berada dikubu Fasisme dalam perang dunia II yg saat itu sedang berlangsung. Otomatis, kelompok yg non-koperatif adalah kubu perjuangan yg anti fasisme yg berhadap-hadapan secara politik maupun militer, termasuk berhadapan dengan kelompok PETA yg di mobilisasi Jepang. Sementara, dikubu fasis menuduh kelompok non koperatif berkolaborasi dengan sisa2 kekuatan Belanda dalam menghadapi Jepang, dalam hal ini termasuk sisa2 militer KNIL. ( Sementara itu, Belanda sendiri waktu itu sudah diduduki oleh bala tentara Jerman ketika Hitler mulai berkampanye menaklukan Eropa dan sedang memasuki Uni Soviet dalam perang "Stalingrad" lewat operasi "Barbossa").

Aliansi anti fasisme dalam perang dunia II mau tidak mau membuat eks KNIL bersekutu dengan gerakan anti fasis melawan bala tentara Jepang, yg tokoh2nya pada waktu itu dari pihak komunis, salah satu pimpinannya Amir Syarifudin dan Tan Malaka.

Setelah kekalahan Poros fasisme tahun 1945 pada bulan Agustus pasca dijatuhkannya Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki, kalangan koperatif diajak Jepang mempersiapkan BPUPKI, yg kemudian menjadi tonggak awal persiapan kemerdekaan. Situasi tersebut mendorong kelompok non koperatif yg anti fasisme memaksa Soekarno - Hatta untuk memproklamasikan Indonesia merdeka tanpa campur tangan pihak Jepang. Aksi tersebut dikenal dengan peristiwa "rengasdengklok", penculikan Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Dengan di proklamasikannya Indonesia 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta mau tidak mau harus mengajak kelompok non-koperatif sebagi pihak yg ikut melawan fasisme. Secara politis tentunya agar pemerintahan baru tersebut bisa dianggap bukan kolaborator Jepang dari pihak yg kalah dalam perang dunia II. Situasi penyatuan tersebut bukan berarti tanpa masalah. Menggabungkan unsur militer eks-PETA dan eks-grilyawan anti fasis yg terdiri dari eks pasukan KNIL yg membelot dan laskar komunis bukanlah hal yg mudah sampai kemudian RERA ditandatangani oleh Hatta dan meletuslah peristiwa Madiun, yg kemudian menandai politik Indonesia memasuki arena perang dingin, yg mana puncaknya ketika terjadi peristiwa pengulingan Soekarno oleh jendral Soeharto atas dukungan Amerika Serikat dan sekutunya yg bersiap perang total di Indo China (Vietnam).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prabowo dan Masalah Perburuhan

Belajar lah dari Dinasti KIM

Akar Rasisme AS: Wawancara dengan Noam Chomsky